Betapa Pentingnya ESQ dalam suatu Kesuksesan
IQ
Bermula pada awal abad 20-an, ketika itu manusia
memuja-muja suatu bentuk kecerdasan yang dianggap menentukan keberhasilan
manusia di dalam hidupnya. Kecerdasan
ini merupakan kecerdasan tertinggi yang akan menentukan masa depan seseorang
dan juga masyarakat. Kecerdasan yang
dimaksudkan tersebut adalah kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient, IQ).
Pada masa-masanya, IQ dijadikan tolok ukur kecerdasan manusia. Oleh karenanya, lalu berkembang berbagai
metode pengukuran IQ sesorang. Semakin
tinggi IQ sesorang maka semakin tinggi kecerdasannya. Dan ini memberi peluang yang besar bagi
kesuksesan hidupnya. Para psikolog baik
praktisi maupun penelitinya, beramai-ramai menyusun formula tes IQ (oleh
karenanya pula sering disebut psikotes?) untuk memilih dan memilah manusia
berdasarkan pada tingkat kecerdasannya.
Formula-formula tes IQ masih banyak kita jumpai hingga saat ini, seperti
buku psikotes untuk melamar dan tes pekerjaan dan lain-lainnya.
Pada perkembangan umat manusia selanjutnya
ternyata IQ tidak mampu mewujudkan “keberhasilan” dalam menghantarkan manusia
pada keberhasilan dan kehangatan horisontal.
IQ telah gagal membina hubungan antarsesama. IQ hanyalah merupakan kecerdasan yang
semata-mata digunakan untuk memecahkan masalah-masalah logika, rasional dan
strategis. Oleh karenanya, bila hanya
mengandalkan IQ maka seseorang tak ubahnya seperti robot/mesin. Mesin bekerja secara cermat, otomatik dan
mekanik dalam memecahkan masalah-masalah logika dan strategis, misalnya saja
komputer. Akan tetapi “mesin” telah
gagal membina hubungan secara hangat dengan sesamanya. Akhirnya “mesin” ini mengalami keterasingan
dari lingkungan dan dunianya sendiri.
EQ
Kemudian, dengan berkembangan ilmu dan pengetahuan
di bidang neurologi dan psikologi, terjadilah pergeseran dalam menilai kecerdasan/keberhasilan seseorang. Pada tahun 1990-an Daniel Goleman
mengelaborasikan secara terus menerus temuan-temuan mutakhir bidang neurologi
dan psikologi, kemudian memformulasikannya menjadi sesuatu yang dinamakan
sebagai kecerdasan jenis baru, yaitu kecerdasan emosional (Emotional Quotient, EQ).
Berdasarkan pada teori EQ maka keberhasilan
seseorang tidak ditentukan oleh tinggi-rendahnya IQ seseorang yang bersangkutan,
tetapi ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut mengelola hubungan
antarpersonal secara lebih bermakna. EQ
telah memberikan suatu rasa empatik, cinta, ketulusan, kejujuran, kehangatan,
motivasi dan kemampuan merespon kegembiraan atau kesedihan secara tepat. EQ juga memberikan kesadaran mengenai
perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain.
Berbeda dengan IQ yang relatif tak berubah pada
diri manusia, EQ bisa mengalami perubahan.
EQ bisa meningkat dan menurun. EQ
bisa dipelajari untuk terus ditingkatkan dan disempurnakan. Bahkan EQ menjadi landasan bagi penggunakan
IQ secara lebih efektif.
Hingga saat ini banyak
ditemui metode-metode untuka meningkatkan EQ itu. Buku yang termasuk terkenal dan
memberikan kontribusi dalam hal pengembangan kepribadian EQ adalah The Seven Habbit Of Highly Of Effective
People karya Stephen R Covey.
Kemudian di dunia pendidikan sekarang sedang trend pada buku-buku karya Bobby dePorter dkk seperti Quantum Learning, Quantum Business dan Quantum Teaching. Dan
masih banyak lagi.
SQ
Ternyata dengan semakin baiknya kecerdasan emosi
seseorang telah menghantarkan pada suatu kepuasan materi, kehangatan hubungan
antar sesama, dan dapat bertindak secara tepat dalam mengelola kesedihan dan
kegembiraan. Akan tetapi manusia moderen
telah dan sedang mengalami kehampaan makna hidup. Mau kemanakah akhir hidup ini?. Untuk apa sih
kita hidup? Oke, barangkali hubungan hangat antarpersonal terlah tercipta,
materi sudah didapat, tetapi hidup ini terasa hampa tanpa makna. Tidak bahagia!!
Pernah suatu ketika Robin Leach mewawancarai
ratusan orang kaya dan terkenal, hasilnya memperlihatkan bahwa kekayaan dan
kemasyhuran tidak serta merta menghantarkan mereka pada kebahagiaan yang
hakiki. Lantas yang menjadi pertanyaan
faktor apakah yang menyebabkan seseorang bahagia? Sebagian menjawab “uang”, “kekayaan”,
“kenikmatan seksual”, “kedudukan”, kesehatan”, dan lain-lain. Namun semua jawaban itu tidak menjawab
kebahagiaan hakiki, jawaban yang parsial dan tidak menyentuh pada substansi dan
hakiki kebahagiaan. Prof Khalil A.
Khavari menjawab bahwa faktor yang menhantarkan sesorang pada kebahagiaan
hakiki adalah “spiritual”.
Faktor spiritual inilah yang kemudian pada akhir
abad 20-an “dieksploitasi” oleh para neurolog dan psikolog untuk mendapatkan
suatu formula kecerdasan jenis ketiga.
Adalah Sepasang suami istri Danah Zohar dan Ian Marshall yang dianggap
awal mula mengelaborasi temuan-temuan ilmiah menjadi kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, SQ).
Sebagaimana halnya EQ, SQ juga merupakan hasil
kerja elaboratif temuan-temuan bidang neurologi dan psikologi. Freud membagi proses psikologis menjadi 2
(dua) yaitu proses primer dan proses sekunder.
Proses primer diasosiasikan dengan EQ dan proses sekunder diasosiasikan
dengan IQ. EQ mencermikan jaringan
asosiatif syaraf otak dan IQ mencerminkan jaringan serial syaraf otak. Proses primer dan sekunder saling berebut
kendali dan ekspresi, oleh karenanya terjadi persaingan antara keduanya. Sedangkan SQ ditengarai sebagai proses
psikologi yang ketiga dan didasarkan pada sistem syaraf otak ketiga, yakni
osilasi-syaraf sinkron yang menyatukan data di seluruh bagian otak. SQ memfasilitasi dialog antara IQ dan EQ
sebagaimana yang disebutkan oleh Zohar dan Marshall bahwa SQ merupakan
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup,
menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas dan kaya. SQ merupakan prasyarat bagi berfungsinya IQ
dan SQ secara efektif.
ESQ
Rupanya, apa yang menjadi
temuan psikolog barat menjadi kritik bagi Ary Ginanjar Agustian (2001). Bahwa apa yang dicetuskan oleh Zohar dan
Marshall di atas hanya masih sebatas pada temuan material dan parsial
(sekular). Ary Ginanjar Agustian
(lagi-lagi) mengelaborasikan EQ dan SQ dengan nilai-nilai yang dianutnya
(Islam) menjadi suatu integrasi yang utuh tanpa dikotomi. Agustian (2001, h.xxxvi) menulis
Selama
ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan dengan stereotip, dikotomisasi antara dunia dan
akhirat. Dikotomisasi antara unsur-unsur
kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata. Materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiyah semata. Mereka yang meilih keberhasilan di alam
“vertikal” cenderung berfikir bahwa kesuksesan di dunia justru adalah sesuatu
yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya
‘dimarginalkan’. Hasilnya mereka unggul
dalam kekusyu’an berdzikir dan kekhitmatan berkontemplasi namun menjadi kalah
dalam poercaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di
alam “horizontal”. Begitupun sebaliknya
yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah
diimbangi oleh kekuatan dzikir. Realitas
kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak mudah baginya untuk berpijak pada
alam fitrahnya (zero mind).
Dengan didasarkan pada
realitas di atas maka dengan berbekal pada pengalamannya pada dunia bisnis –
Ary Ginanjar Agustian adalah seorang pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI
dan telah menkuni dunia training kepribadian, pengembangan diri dan karir – dan
atas bimbingan spiritual KH. Habib Adnan, menemukan suatu model kecerdasan
“alternatif” berupa ESQ model.
ESQ model ini kemudian
dituangkan dalam bentuk buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotent Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam”. Di dalam buku tersebut Ary
Ginanjar Agustian mencoba mengkonvergensikan secara tepat antara kecerdasan
emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan didasarkan pada nilai-nilai yang
dianut, yaitu Islam dan pengalamannya sebagai seorang pengusaha. Meskipun EQ dan SQ memiliki muatan yang
berbeda namun sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang
lain. Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut menyusun metode yang
lebih dapat diandalkan dalam menemukan yang benar dan hakiki.
Secara
singkat, buku ESQ model terdiri dari 4 (empat) bagian.
Bagian Satu : zero
mind process yaitu penjernihan emosi melalui proses menuju fitrah.
Bagian Dua : Mental Building
1. Star principle
2. Angel principle
3. Leadership principle
4. Learning principle
5. Vision principle
6.
Well organized
principle
Bagian Tiga : Personal
Strength
1. Mission statement
2. Character Building
3.
Self Controling
Bagian Empat : Social
Strength
4. Strategic Collaboration
5.
Total Action
Pada bagian satu,
zero mind process, kita diajak untuk
melalui tahapan proses menuju pada fitrah manusia (God-Spot). Pada proses ini
kita diajak untuk merenungi dan memperhatikan suara hati atas beberapa
peristiwa yang terjadi sehari-hari baik pada diri kita maupun pada orang lain
atau lingkungan sekitarnya. Kemudian kita disuruh untuk merespon secara jujur berdasarkan kata hati kita. Dari situ kita akan menemui dua pilihan,
yaitu pilihan jalan menuju fitrah dan pilihan jalan menuju non fitrah. Kita diberi kebebasan untuk memilihnya. Dari sinilah prinsip hidup kita diuji. Terkadang hati manusia terbelenggu sehingga
menutupi kebenaran informasi dari suara hati.
Belenggu-belenggu tersebut adalah:
1.
Prasangka (buruk)
2.
Prinsip-prinsip hidup
3.
Pengalaman
4.
Kepentingan dan prioritas
5.
Sudut pandang
6.
Pembanding
7.
Literatur
Oleh karenanya kita diharuskan untuk membebaskan diri dari ketujuh belenggu
tersebut untuk menuju god-spot.
Pada bagian dua, setelah
kita memiliki kejernihan hati, maka kita harus mulai mengisi dan membangun melalui
enam prinsip bintang sebagai pegangan hidup; memiliki prinsip malaikat sehingga
kita selalu dipercaya orang lain; memiliki prinsip kepemimpinan yang akan
membimbing kita menjadi seorang pemimpin yang berpengaruh; menyadari akan arti
pentingnya prinsip pembelajaran yang akan mendorong pada suatu kemajuan;
mempunyai pronsip[ masa depan, sehingga akan selalu memiliki visi, dan terakhir
yaitu memiliki prinsip keterarutab sehingga tercipta suatu sistem dalam satu
kesatuan tauhid, atau prinsip esa di dalam berfikir.
Ketangguhan pribadi adalah
ketika seseorang berada pada posisi atau dalam keadaan telah memiliki pegangan
prinsip hidup yang kokoh dan jelas.
Secara sistematis, ketangguhan pribadi adalah seseorang yang telah
memiliki prinsip berfikir dan mengaplikasikannya melalui tiga langkah sukses
yaitu pernyataan misi, pembangunan karakter dan pengendalian diri. Inilah bagian tiga dari ESQ model.
Bagian Empat adalah
ketangguhan Sosial. Ketangguhan sosial
ini dianalogikan dengan prinsip zakat, yaitu kepedulian terhadap lingkungan
sosial. Prinsip zakat adalah suatu
bentuk “pertahanan aktif” dari dalam keluar.
Langkah yang harus ditempuh adalah lanjutan dari langkah ketiga pada bagian
tiga. Lngkah keempat ini dinamakan
sebagai kolaborasi strategis dan langkah kelima sebagai tindakan total. Pada langkah kelima ini diasosiasikan dengan
haji. Yaitu tindakan unversal dan total
dari rukun Islam.
Penutup
Jadi untuk apa kita memiliki IQ yang Tinggi tanpa
di Imbangi Oleh EQ . Tapi apakah mungkin kita bisa menjadi orang sukses dengan
IQ dan EQ saja? .
Ternyata jika kita memiliki IQ tinggi terus memiliki sifat EQ yang sangat baik. Tanpa di imbangi oleh SQ kita tidak bisa menjadi orang yang sukses .
Ternyata jika kita memiliki IQ tinggi terus memiliki sifat EQ yang sangat baik. Tanpa di imbangi oleh SQ kita tidak bisa menjadi orang yang sukses .
Dan Kita tidak bisa menjadi
”Generasi Berprestasi ,
Cendikiawan Muslim Masa KINI”
0 komentar:
Posting Komentar